76 Kata-Kata Soe Hok Gie
February 21, 2017
Edit
Siapa Soe Hok Gie?. Dalam artikel saya yang berjudul kisah meninggalnya Soe Hok Gie di puncak Mahameru diceritakan bahwa Soe Hok Gie adalah seorang pemuda keturunan Cina yang sangat mencintai Indonesia. Peranannya dalam dunia pendakian pun sangat berpengaruh, bahwasannya dialah yang mencetuskan nama "Pecinta Alam"
Pada artikel ini pun kita masih membahas Soe Hok Gie, tapi dari sisi yang berbeda, yakni saya akan membagikan 76 kata-kata Soe Hok Gie yang terbagi menjadi dua bagian. Tentang cinta dan tentang naik gunung. Daripada saya disebut penulis yang suka basa-basi, lebih baik kita mulai saja di bawah ini.
Kata-Kata Cinta Soe Hok Gie
Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.
Kata-Kata Soe Hok Gie Tentang Naik Gunung
Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.
Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung
Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
Kata-Kata Bijak Soe Hok Gie
Atau… dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus. Bergabunglah dengan grup yang kuat (partai, ormas, ABRI, dan lain-lainnya) dan belajarlah teknik memfitnah dan menjilat. Karir hidup akan cepat menanjak. Atau kalau mau lebih aman kerjalah di sebuah perusahaan yang bisa memberikan sebuah rumah kecil, sebuah mobil atau jaminan-jaminan lain dan belajarlah patuh dengan atasan. Kemudian carilah istri yang manis. Kehidupan selesai
Baru-baru ini seorang OKD (Organisasi Keamanan Desa) memukul tukang becak. Kita kasihan pada OKD yang penakut itu. Mereka, untuk menutupi kekecilan-nya (cuma OKD) berlagak seperti jendral. Sebenarnya mereka adalah seorang yang penakut. Orang yang berani karena bersenjata adalah pengecut.
Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran.
Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak". Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.
Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu.
Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari segala arus masyarakat yang kacau. Tapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya. Yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya, apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelejensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan
Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya
Realitas – realitas baru inilah yang menghadapi pemuda-pemuda Indonesia yang penuh dengan idealisme. Dia hanya punya dua pilihan. Yang pertama, tetap bertahan dengan cita-cita idealisme. Menjadi manusia-manusia yang non-kompromistis. Orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala. “Dia pandai dan jujur, tetapi sayangnya kakinya tidak menginjak tanah
Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang
Akupun tak yakin (pasti malah) tentang ke-tak-ada-annya nasib,Aku berpendapat bahwa kita adalah pion dari diri kita sendiri sebagai keseluruhan. Kita adalah arsitek nasib kita, tapi tak pernah dapat menolaknya. Kita asing, ya kita asing dari ciptaan kita sendiri
Jepang adalah tanah dan Barat adalah benih. Benih itu ditanam dan walaupun yang tumbuh pohon barat, Tapi pohon tadi telah mempunyai sifat2 yang khas jepang. Apakah Indonesia sekuat Jepang? Setanpun tak tahu
Tapi sekarang aku berpikir, sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa?
Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita
Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia
Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda
Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
Manusia dibentuk oleh ambisi mengenai masa depan, dibentuk oleh kenyataan-kenyataan kini, dan pengalaman-pengalaman masa lampau. Seorang pun tak dapat membebaskan dirinya dari masa lampau. Pengalaman-pengalaman pribadi memberi warna pada pandangan dan sikap hidup seorang untuk seterusnya.
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
Kemerdekaan merupakan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, tetapi juga merupakan dsebuah gedung yang kosong. Menjadi tugas pendukung-pendukungnya untuk mengisi kemerdekaan.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi.
Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi.
Barang Siapa mengibarkan bendera "Revolusioner", akan memperoleh pasaran di kalangan kaum radikal, kaum yang menunggu dengan tidak sabar perubahan-perubahan yang mereka harapkan. Kaum "Radikal" ini berasal dari segala golongan.
Dunia ini adalah dunia yang aneh.Dunia yang hijau tapi lucu.Dunia yang kotor tapi indah. Mungkin karena itulah saya telah jatuh cinta dengan kehidupan.
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.
Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka.
Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
Kumpulan Puisi Soe Hok Gie
Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tibapada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekapKau dekaplah lebih mesra, Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiriMencari jawaban kegelisahan hati
(Djakarta)
From Soe Hok Gie With Love
yang berbicara tentang kemerdekaan dan demokrasi
dan bercita-cita menggulingkan tiran
aku mengenali mereka yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
kawan-kawan
kuberikan padamu cintaku
dan maukah kau berjabat tangan
selalu dalam hidup ini??
(Soe Hok Gie, Sinar Harapan, 18 Agustus 1973)
Cinta
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau
Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa
( Selasa, 11 November 1969 )
Mimpi
Dimana ulama, buruh, dan pemuda,
Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan!
Semua pembunuhan atas nama apapun!”
Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua
Dan lupa akan diplomasi
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun
Dan melupakan perang dan kebencian
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi Yang tak pernah akan datang
( Salem, Selasa, 29 Oktober 1968 )
Kepada Pejuang-Pejuang Lama
Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita, para pejuang lama
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)
(kau tentu masih ingat suara-suara dibelakang…”mereka gila”)
Hai, kawan-kawan pejuang lama
Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita
Dan tinggalkan kenangan-kenangan dan kejujuran kita
Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)
Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan pemberontak-pemberontak rakyat
Di sana…Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru.
Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini
Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya
Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya
Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya.
Ayo,,Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak
Tak ada tempat di kapal ini
Tentang Kemerdekaan
Yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis….
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan samua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita smua adalah
Manusia terbebas.
Mandalawangi-Pangrango
Ke dalam djurang-djurang mu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
Dan dalam dinginnya.
Walaupun setiap orang berbitjara
Tentang manfaat dan guna
Aku bicara terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku.
Aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi
Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menjelimuti mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bitjara padaku tentang kehampaan semua.
“hidup adalah soal keberanian,Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah.
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu,
Melampaui batas-batas djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanian hidup
Hidup
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut, tempat penghentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam
“Merasa seneng menjadi aktivis
Kami adalah aktivis berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan aktivis reformasi lanjutkan,
Berkelanjutan kok lanjutkan
Ini saya mengatur saudara-saudara aktivis yang sudah
Muak dan bosan dengan ideology dan kemiskinannya
Semua aktivis melacur, tinggal aku aktivis yang belum di sunat
Ini mana kaptennya aktivis kok belum datang, lupa atau gimana?”
“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir,
Apa gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang…
Makin lama semakin banyak musuh saya dan
Makin sedikit orang yang mengerti saya.
Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan.
Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan
Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.”
(Soe Hok Gie)
Kata Mereka Tentang Soe Hok Gie
Di tengan pertentangan politik, agama, kepentingan politik, ia (Soe Hok Gie) berdiri tegak di atas prinsip perikemanusiaan dan keadilan serta secara jujur dan pemberani menyampaikan kritik-kritiknya atas dasar prinsip-prinsip itu demi kemajuan bangsa. -Harsjana W. Bachtiar, Kompas, 26 September 1969
Dia (Soe Hok Gie) adalah seorang jujur dan pemberani. Dan meng-erikan, karena ia maju lurus dengan prinsip-prinsipnya tanpa kenal ampun. Maka seringkali ia bentrok karena dianggap tidak taktis. -Nugroho Notosusanto, Kompas, 26 September 1969
Meskipun hanya bertemu lewat karya-karyanya, saya seperti mengenal betul bagaimana idealisnya, bagaimana mimpinya, bagaimana keberaniannya. Masih sangat terasa kuat, tentang sastra dan alam yang dicintainya. Saya sangat setuju bahwa hidup adalah tentang keberanian melawan tanda tanya dan berjuang bukan untuk apa-apa, semuanya berada di bawah keadilan dan kemanusiaan. -Penulis, Bandung, 21 Februari 2017
Sumber: Buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran dan Film Soe Hok Gie
Baca juga: 54 kata-kata mutiara pendaki gunung sejati